Defect, anomali...and perspective

26 April 2015

On 08.37 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Aku hanya mengenal satu kakek, pekak, sepanjang hidupku. Ya, tentunya secara biologis dan sesuai pohon keluarga aku punya dua kakek, satu dari pihak bapak, satunya lagi dari ibu. Pekak dari bapak, aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Beliau telah meninggal jauh sebelum aku lahir. Praktisnya, aku mengenal beliau hanya lewat cerita dan sebuah foto tua yang berhasil didaur ulang dengan kecanggihan teknik fotografi sehingga kami tetap dapat mengenang (dan bagiku pribadi) membayangkan rupa beliau.

Pekak yang benar-benar aku kenal adalah bapak dari ibu. Kami menyebut beliau dengan panggilan Pekak Romo. Aku sendiri yakin ada cerita di balik panggilan itu, namun aku benar-benar lupa.

Menyebut pekak romo, bayangan yang terlintas di benakku adalah sesosok pria tua, tinggi, besar, tambun, dengan lapisan lemak tebal yang menyembul di perut. Walaupun jarak antara rumah tinggal kami dengan rumah kecil ibu hanya sekitar 10 kilometer, kami tidak sesering itu mengunjungi rumah kecil ibu, yang berarti tidak sesering itu aku berjumpa Pekak Romo. Dalam kesehariannya, Pekak Romo boleh dibilang disegani oleh kerabat dan tetangga sekitar. Selain karena beliau dikenal sebagai seorang ahli pijat tradisional, aku rasa juga karena kepribadiannya secara keseluruhan. Tak jarang, bila pulang ke Bebali (rumah kecil ibu) aku akan berjumpa dengan beberapa orang yang mengantre sembari bercengkrama sambil membawa canang dengan jinah sesari seikhlasnya. Mereka adalah pelanggan pijat Pekak Romo.

Hey! Aku juga salah satu pelanggan pijat Pekak. Ya, aku suka sekali dipijat oleh beliau. Walaupun setelahnya kaki tanganku akan licin berminyak. Walau setelahnya badanku beraroma bawang.

Aku suka.

Selain tentang pijatannya yang aduhai nikmat dirasakan kaki-kaki mungilku (kala itu), hal yang kuingat tentang Pekak Romo adalah pertanyaan-pertanyaannya yang menurutku membuatnya sangat family-man. Kebanyakan adalah tentang sekolahku, prestasi terakhir yang aku capai, rencana ke depan dan sebagainya. Lalu, selalu beliau memastikan hubungan baikku dengan kerabat yang lain, 'kapan terakhir ketemu si ini?', 'gimana kemarin waktu main ke rumah si itu?', 'itu masih sodara, sudah sering nyapa si anu?'. Dan tentu saja petuah-petuah yang sangat layak dari seorang kakek kepada cucunya.

Ah.. lama sekali rasanya aku tidak mendengar petuah-petuah itu.

*   *   *

Tahun berganti, usia Pekak Romo bertambah tua. Ada limitasi oleh waktu, dimana pekak tidak menerima permintaan pijat lagi. Sampai perlahan, karena aku yang beranjak remaja, walau beberapa kali bapak masih sempat dipijat pekak, aku ingat masa dimana pekak benar-benar pensiun dari ranah pijat tradisional.
Ya, tidak ada pijatan lagi, hingga yang menyedihkan pekak mulai sering mengulang pertanyaannya berkali-kali. Demensia.

*   *   *

Ketika menua adalah mutlak bagi sang tua, memahami perubahan adalah opsi dengan hitungan permutasi bagi yang lainnya. Hasil perhitungannya seringkali adalah penyesalan atas waktu yang terlewatkan, atas kesempatan yang pernah terabaikan.

*   *   *

Awal bulan ini, sosok pria tua tambun tinggi besar itu, satu-satunya kakek yang benar-benar aku kenal, berpulang. Entah kenapa di baris ini aku kehilangan kata-kata.

...

Ada kenangan yang identik dengan alinea awal tulisan ini, menggedor dadaku, tepat saat tanah yang digali dimaksudkan untuk menutupi badan pekak romo untuk seterusnya. Seperti aroma dupa, nada sendu, dan tatapan rindu sore itu, tolong lihat aku lagi dari manapun tempatmu.