29 Desember 2012
Beberapa tahun yang lalu aku mengenal seorang gadis. Ia sangat membenci
warna pink, merah muda, sangat,
sangat benci. Tak satu pun barang yang dimilikinya berwarna merah muda. Pun
dalam setiap hal yang dilakukannya sehari-hari ia sebisa mungkin menghindari
warna yang satu itu. Untuk buku yang berwarna merah muda ia akan menyampulnya.
Hadiah pakaian merah muda, ia akan dengan senang hati memberikannya kepada
kerabat atau tetangga. Bahkan bila langit senja tak sengaja merefraksi warna
mendekati merah muda, ia sebisa mungkin menahan diri untuk menatap ke atas,
sebagaimanapun cintanya ia pada menit-menit tenggelamnya mentari.
Ia, gadis yang pernah aku kenal beberapa tahun yang lalu, tidak memiliki
alasan atas kebenciannya pada warna merah muda. Tidak ada kejadian traumatis,
tidak ada kenangan pahit, ia hanya benci. Baginya, merah muda adalah warna
feminitas garis kiri. Merah muda identik dengan lemah-manja hati wanita. Merah
muda adalah lambang perasaan berbunga yang membuat lupa segala. Merah muda
selalu diidentikkan dengan cinta, kisah-kasih, hari Valentine, dan segala
keabsurdan lain yang tak pernah bisa ia mengerti. Gadis yang pernah aku kenal
itu sangat anti dengan bahasan gender, enggan memihak kubu maskulin-feminin,
benci jika terlihat lemah, tidak ingin lupa segala, dan seperti yang aku
sebutkan terakhir tadi, ia tidak pernah mengerti tentang seluk-beluk cinta.
Jauh di atas segala keanehan tentang rasa bencinya terhadap merah muda,
gadis yang pernah aku kenal itu justru tak pernah bisa jauh dari segala yang
berwarna merah muda. Semakin ia menjauhi satu merah muda, merah muda yang lain
akan lekat kembali. Seperti teman, seperti persahabatan. Dari bangku putih
biru, hingga berseragam putih abu, ia selalu bersama teman duduk yang justru
tergila-gila dengan warna merah muda. Bertolak dengan segala upayanya
mengenyahkan merah muda dari setiap jengkal harinya, teman sebangkunya justru
menyodori segenggam merah muda yang lain, setiap hari, setiap jam, setiap detik
kebersamaan mereka. Mereka menggunakan tas-tas besar warna merah muda, kotak
pensil merah muda, bolpoin merah muda, gantungan ponsel merah muda, dan sangat
mungkin kala itu mereka menggunakan pakaian dalam merah muda. Hari-hari itu, gadis
yang pernah aku kenal melihat jelas bagaimana tahun-tahun penuh perbedaan itu
berlalu. Hari-hari itu, dimana ia melihat bagaimana perbedaan bertahan di ruang
yang sama dalam waktu yang lama. Hari-hari itu, sangat ganjil, justru adalah
hari-hari terindah di masa yang lalu baginya.
Hari ini, banyak hal telah berubah. Gadis itu, hingga terakhir kali aku
bertanya, merah muda belum menjadi warna favoritnya. Gadis itu, hanyalah aku di
tahun-tahun yang lalu.
* * *
Setelah aku pikirkan di hari-hari sekarang, kebencianku pada merah muda
yang idiopatik pada tahun-tahun yang lalu memang ganjil. Aku juga baru menyadari
bagaimana waktu itu, tingkahku dapat digolongkan sebagai perilaku obsesif. Orang
melihatku aneh, dan tatapan mereka justru membuatku betah terlihat ‘aneh’. Aku
sendiri tidak bisa mengelak bahwa perilaku obsesif terhadap satu hal –dalam hal
ini kebencianku pada merah muda, dapat digolongkan sebagai sinyal penyimpangan
jiwa. Tapi, mengingat usiaku waktu itu yang dalam bahasa sekarang diistilahkan
sebagai ABG labil, maka sedikit keanehan atas nama pencarian jati diri adalah
amat sangat bisa ditolerir (sedikit ngeles
memang, bagaimanapun aku sudah tidak seobsesif itu).
Aku yang sekarang sudah memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa simbolisme
linear dengan mengidentikkan satu hal dengan sejuta negativisme subyektif. Aku
juga memahami bahwa segala kelemahan manusiawi akan sangat tidak adil bila
dibebankan pada satu warna saja. Tanpa aku sadari aku mulai berhenti membenci
merah muda, walaupun aku belum memutuskan untuk mulai menyukainya.
Satu hal besar yang aku tahu, dan aku juga ingin agar orang lain tahu
adalah bagaimana warna yang membantu kita mendeterminasi hubungan dengan orang
lain bukanlah warna yang panjang sinarnya bisa ditangkap oleh mata. Bukan tentang
pakaian merah, kulit kuning, rambut coklat, atau mata biru. Warna itu,
tersimpan dalam sebuah abstraksi yang kita sederhanakan sebagai hati. Warna
itu, dengan sangat cerdik terlihat sekilas dari afek sehari-hari, jarang kita
sadari. Jadi bisa saja hari kemarin aku benci merah muda, hari ini aku suka
hijau, mungkin besok aku memilih ungu. Teman-temanku yang dulu suka merah muda
mungkin hari ini juga mengganti selera mereka.
Tak masalah. Justru dengan kita tersenyum bersama saat kita terlihat
berbeda, membuktikan bahwa kita adalah satu warna.
P.S
Aku hanya sedang agak merindukan beberapa teman pernah menggerecoki aku dengan benda-benda pink mereka. :D Miss you bestie...
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup