Defect, anomali...and perspective

29 Desember 2012

On 07.43 by anya-(aydwprdnya) in ,    No comments
Beberapa tahun yang lalu aku mengenal seorang gadis. Ia sangat membenci warna pink, merah muda, sangat, sangat benci. Tak satu pun barang yang dimilikinya berwarna merah muda. Pun dalam setiap hal yang dilakukannya sehari-hari ia sebisa mungkin menghindari warna yang satu itu. Untuk buku yang berwarna merah muda ia akan menyampulnya. Hadiah pakaian merah muda, ia akan dengan senang hati memberikannya kepada kerabat atau tetangga. Bahkan bila langit senja tak sengaja merefraksi warna mendekati merah muda, ia sebisa mungkin menahan diri untuk menatap ke atas, sebagaimanapun cintanya ia pada menit-menit tenggelamnya mentari.

Ia, gadis yang pernah aku kenal beberapa tahun yang lalu, tidak memiliki alasan atas kebenciannya pada warna merah muda. Tidak ada kejadian traumatis, tidak ada kenangan pahit, ia hanya benci. Baginya, merah muda adalah warna feminitas garis kiri. Merah muda identik dengan lemah-manja hati wanita. Merah muda adalah lambang perasaan berbunga yang membuat lupa segala. Merah muda selalu diidentikkan dengan cinta, kisah-kasih, hari Valentine, dan segala keabsurdan lain yang tak pernah bisa ia mengerti. Gadis yang pernah aku kenal itu sangat anti dengan bahasan gender, enggan memihak kubu maskulin-feminin, benci jika terlihat lemah, tidak ingin lupa segala, dan seperti yang aku sebutkan terakhir tadi, ia tidak pernah mengerti tentang seluk-beluk cinta.

Jauh di atas segala keanehan tentang rasa bencinya terhadap merah muda, gadis yang pernah aku kenal itu justru tak pernah bisa jauh dari segala yang berwarna merah muda. Semakin ia menjauhi satu merah muda, merah muda yang lain akan lekat kembali. Seperti teman, seperti persahabatan. Dari bangku putih biru, hingga berseragam putih abu, ia selalu bersama teman duduk yang justru tergila-gila dengan warna merah muda. Bertolak dengan segala upayanya mengenyahkan merah muda dari setiap jengkal harinya, teman sebangkunya justru menyodori segenggam merah muda yang lain, setiap hari, setiap jam, setiap detik kebersamaan mereka. Mereka menggunakan tas-tas besar warna merah muda, kotak pensil merah muda, bolpoin merah muda, gantungan ponsel merah muda, dan sangat mungkin kala itu mereka menggunakan pakaian dalam merah muda. Hari-hari itu, gadis yang pernah aku kenal melihat jelas bagaimana tahun-tahun penuh perbedaan itu berlalu. Hari-hari itu, dimana ia melihat bagaimana perbedaan bertahan di ruang yang sama dalam waktu yang lama. Hari-hari itu, sangat ganjil, justru adalah hari-hari terindah di masa yang lalu baginya.

Hari ini, banyak hal telah berubah. Gadis itu, hingga terakhir kali aku bertanya, merah muda belum menjadi warna favoritnya. Gadis itu, hanyalah aku di tahun-tahun yang lalu.

*             *             *
Setelah aku pikirkan di hari-hari sekarang, kebencianku pada merah muda yang idiopatik pada tahun-tahun yang lalu memang ganjil. Aku juga baru menyadari bagaimana waktu itu, tingkahku dapat digolongkan sebagai perilaku obsesif. Orang melihatku aneh, dan tatapan mereka justru membuatku betah terlihat ‘aneh’. Aku sendiri tidak bisa mengelak bahwa perilaku obsesif terhadap satu hal –dalam hal ini kebencianku pada merah muda, dapat digolongkan sebagai sinyal penyimpangan jiwa. Tapi, mengingat usiaku waktu itu yang dalam bahasa sekarang diistilahkan sebagai ABG labil, maka sedikit keanehan atas nama pencarian jati diri adalah amat sangat bisa ditolerir (sedikit ngeles memang, bagaimanapun aku sudah tidak seobsesif itu).

Aku yang sekarang sudah memiliki kemampuan untuk menyadari bahwa simbolisme linear dengan mengidentikkan satu hal dengan sejuta negativisme subyektif. Aku juga memahami bahwa segala kelemahan manusiawi akan sangat tidak adil bila dibebankan pada satu warna saja. Tanpa aku sadari aku mulai berhenti membenci merah muda, walaupun aku belum memutuskan untuk mulai menyukainya.

Satu hal besar yang aku tahu, dan aku juga ingin agar orang lain tahu adalah bagaimana warna yang membantu kita mendeterminasi hubungan dengan orang lain bukanlah warna yang panjang sinarnya bisa ditangkap oleh mata. Bukan tentang pakaian merah, kulit kuning, rambut coklat, atau mata biru. Warna itu, tersimpan dalam sebuah abstraksi yang kita sederhanakan sebagai hati. Warna itu, dengan sangat cerdik terlihat sekilas dari afek sehari-hari, jarang kita sadari. Jadi bisa saja hari kemarin aku benci merah muda, hari ini aku suka hijau, mungkin besok aku memilih ungu. Teman-temanku yang dulu suka merah muda mungkin hari ini juga mengganti selera mereka.

Tak masalah. Justru dengan kita tersenyum bersama saat kita terlihat berbeda, membuktikan bahwa kita adalah satu warna.

P.S
Aku hanya sedang agak merindukan beberapa teman pernah menggerecoki aku dengan benda-benda pink mereka. :D Miss you bestie...