Defect, anomali...and perspective

8 Mei 2018

On 03.57 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Mencintai satu bahan makanan adalah suatu persoalan di antara banyak persoalan lainnya. Kita tidak akan pernah memaksa lidah untuk setia, kemudian di hari yang sama menghujatnya sebagai peselingkuh di hadapan media. Hanya saja kadang kita yang tidak ingin mengerti, rasa adalah selalu tentang preferensi. Sejauh yang kita mampu adalah berasumsi; tentang tangan yang meraciknya misalnya, tentang kapan pertama mengecapnya misalnya, tentang... akh..bagaimana mungkin Engkau tidak melarangku mengetikkan segala misal yang kita sama tahu tidak pernah akan berkesudahan. 



Masakan ibu adalah yang terbaik. Aku tahu pasti, tidak akan ada yang menyangkalnya, tidak ada yang punya hati untuk itu. Tapi hidup ini tidak digariskan demi membahas yang pasti, atau yang tidak terbantahkan. Jika iya, mungkin setiap hariku akan terisi dengan doa agar dapat segera moksa. Hidup ini, setidaknya hidupku, bertahan terapung hanya karena mempertahankan idealisme konyol yang bisa patah hanya dalam satu petikan senar. Di lain waktu, demi menyangga massa-massa tak bertuan yang beterbangan di jalanan. Maka, tanpa mengurangi cintaku pada ibuku, hari ini, sama seperti hari lain sejak bulan delapan tahun yang lalu, tidak ada masakan ibu.

Hari ini adalah tentang rebung, yang juga tidak hadir, kecuali di pikiran acakku. Musim semi minggu ketiga, cuaca cerah, udara gerah di luar jendela dan aku memikirkan tentang rebung. Ya, rebung yang sama dengan yang hampir tidak pernah aku suka. Aku tidak suka rebung, Engkau tahu, aromanya yang terlalu kuat jarang bisa diselamatkan oleh rasanya yang konon bisa nikmat. Aku tidak suka rebung. Tapi aku masih ingat bagaimana aku luluh bersamamu setiap kali Engkau membawaku ke kedai Loempia Semarang yang tersohor se-ibu kota. Suara yang sering nyinyir di kepalaku bersorak terlalu kencang hingga gendang telingaku seperti digedor dari dalam, "Dungu! Itu namanya cinta". Aku tidak menyangkal, itu cinta. Padamu tentunya, bukan pada rebung.

Aku tidak suka dan mengubahnya karena aku tahu Engkau suka, semata-mata agar padaku yang telah suka pun Engkau akan suka. Lihat, beginilah akibatnya jika terlalu banyak suara yang bermain, berselancar, bahkan berdiam di organ-organmu. Tapi...aku tidak ingin memaksamu agar jatuh suka pada apa yang aku suka, hanya agar rasa sukaku padamu lestari. Yang mana kemudian berujung pada kesalahan pertama, aku menghitung. Aku tidak pernah berhenti menghitung setelah gigitan rebung yang pertama, dan kedua, dan seterusnya. Kesalahan besar pertama yang kemudian menyeretku pada kesalahan-kesalahan berikutnya. Ini seperti matematika, yang mana aku salah pada formula pertama, dan Engkau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku menghitung sampai aku tahu, dalam cinta, kita tidak mengenal angka. Sayangnya, setelah bertahun-tahun, berhitung telah menjadi perkara otonom, tidak ada yang bisa membuatku berhenti. 

Kita tidak makan rebung bersama lagi walaupun sel-sel penghitung di tubuhku tetap otonomi, hanya saja aku biarkan dengan harapan mereka akan segera atropi. Jika pun nanti aku kembali, entah apa aku masih bisa menikmati rebung di dalam loempia, atau rebung dalam masakan lainnya. Mungkin saja aku malah mulai menghitung keju dalam paprika. 

Tentu aku suka rebung yang dimasak oleh ibu, karena...karena itu masakan ibu. Tapi rebung lainnya, Engkau tahu, jika tidak ada perasaan besar di baliknya maka aku lebih baik mulai belajar menghitung dengan cara yang berbeda.

Berlin,
Beberapa saat sebelum tabir surya,
A.



========================================================================
Loving a foodstuff is a matter among many other more critical problems. We would never ask our taste buds to be faithful and then judge them as cheaters in front of public on the very same day. It is just; we do not want to understand that taste is always about preference. As far as we could assume; about the hands who created it for example, about our first time tasting it for another example, and aboutouch, how could nobody stop me from typing every epitome which we both know would never come to an end?

Mom’s cooking is the best. I know for sure that nobody would object that, none has any blue heart to do so. However, life does not mean to ensure the certitude or conviction. If yes, I might fill my days with an uninterrupted row of prayer for immediate moksa. This life, at least mine, make a stand above some ridiculous vulnerable idealisms that may break just by a touch on a guitar string. In the other time, it holds on to some no man’s masses that float in this big city air. So, without any intention to degrade the love to our moms, today is just like the other days since the eighth month of last year, no mom’s cooking.

Today is about bamboo sprout, which is not present here, except inside my random mind. The third week of spring, bright sunny weather, the slightly hot temperature outside the window, and I am thinking about bamboo shoots. Yeah, the same bamboo shoot I almost never like. You know, its strong smell is barely saved by its taste, which said to be savory. Eating bamboo sprout is not my thing. However, I could still remember how did this stone hard feeling melt away and followed you every time you went to that famous Loempia Semarang stall in the town. The sneery sounds in this heads spoke loudly almost break the wall inside my ears, “Foolish! You called that love.” I would not deny, that was love. To you of course, not to the bamboo sprout.

I did not like; then I changed because I know that you like so that you might be like me that like it. See, this is what happened if you had too many voices playing, surfing, or even standing fixed silently in your organs. However, I did not want to push you to like the things that I love to sustain the feeling you might have toward me. It turned out, I made my first substantial mistake which then led to others, I count. I could not stop to count since, after my first bite of bamboo sprout, then the second bite, then the eternal next. It was turned into math, conceptually. For instance, I have started with a very wrong formula, and we all know what happened after. I keep counting, to the point that I realized, in love, there is no number. Unfortunately, after years, counting has become autonomous, none could stop this counting system has been built.

We do not eat bamboo sprout together again for a long time, even though the neglected counting cells inside me are still autonomous. I would let them be with the hope that one lucky day, they will start being atrophy. If, let’s say if I would be back again, I do not know if I still possess that tenacity to enjoy the bamboo sprout, in loempia or other bamboo sprout dishes. Maybe in the meanwhile, I am having another count on cheese stuffed bell peppers.

Of course, I would like the bamboo sprout dish cooked by my mom, because…just because. But for another kind, you know, it requires a huge huge feeling to motivate me so I can learn how to count different way.

Berlin,
A minute before sunscreen on,
A.

0 comments:

Posting Komentar