Defect, anomali...and perspective

5 November 2013

On 01.52 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments

Hari ini harusnya aku menikmati hari libur tenang nan menyenangkan. Harusnya hari ini aku ada di salah satu pusat perbelanjaan, walau hanya sekadar meletakkan sidik jariku di barang yang terpampang di etalase. Harusnya aku sibuk mengucapkan selamat tahun baru bagi kawan-kawan muslim yang tengah merayakan. Atau harusnya aku berseliweran mondar-mandir di depan bioskop XXI, berlagak akan menonton sekuel Thor terbaru, walaupun kenyataannya tak cukup uang di dompetku. Menyesal itu bukan perasaan yang sehat, menurutku. Kalaupun hari ini aku malah menghabiskan waktu di antara box bayi ini pun aku tidak menyesalinya.

Ya, tidak salah memang, NICU yang aku maksud di atas adalah NICU tempat bayi-bayi merah berjuang untuk bertahan hidup. Neonatal Intensive Care Unit. Angka-angka yang mengikuti di belakangnya adalah penanda tanggal hari ini, hari kesekianku jaga libur di bagian Pediatri, fiuhh..
Eh, aku sudah janji untuk tidak mengeluh.

Oke, tentang NICU hari ini, bukan pertama kalinya aku bertugas jaga di NICU, bedanya kali ini tanggungjawabku hanya empat bayi mungil untuk diobservasi. Empat bayi, satu hari, observasi tiap 3 jam sekali dengan bonus sekantung popok yang penuh dan tangisan tanggung, aku rasa tidak begitu buruk. Ada yang jauh lebih buruk lagi, proyeksi epidemiologi yang cukup mencengangkan aku temukan di ruangan NICU nan sempit ini. Dari 4 bayi, seluruhnya adalah bayi prematur, seluruhnya merupakan kelahiran yang tidak diinginkan dari kehamilan yang juga tidak diinginkan. Tiga dari empat ibu empunya bayi masih duduk di bangku SMA. Satu sisanya siswi SMP, yang tidak menyadari kehamilannya, yang kemudian tanpa sengaja "melahirkan" di kamar mandi. Dari 4 bayi, dua diantaranya memiliki berat badan lahir rendah, dua lainnya dengan berat badan lahir sangat rendah.

Aku tercengang.

Beberapa saat yang lalu, seorang ibu bayi datang untuk memenuhi panggilan dokter bertugas demi memberikan KIE terkait kondisi bayinya. Sangat mengiris hati, menyebut anak perempuan yang datang itu sebagai ibu. Bagaimana tidak, perawakannya sangat kecil, wajahnya kekanakan, penampilannya layak dibawa jalan ke mall alih alih menunggui bayinya yang belum stabil. Tanpa alasan yang jelas hatiku terluka.
Sesuatu pasti salah di sini. Entah apa, entah siapa.

Aku enggan berpikir lebih dalam hari ini. Ada tugas status minicex yang harus aku selesaikan. Ada slide presentasi yang juga menunggu untuk aku rampungkan.

Hanya saja,
bila semakin banyak anak yang lahir tanpa ibu yang memiliki kapabilitas untuk menjadi ibu, bila semakin banyak anak yang besar dengan pencerapan dasar bahwa mereka tidak diinginkan, bila nantinya bayi-bayi itu tumbuh dengan hanya sedikit ruang tersisa untuk bermimpi indah....
kepada siapa kita harus menguntaikan mimpi-mimpi hari nanti?

Duh, NICU hari ini, miris sekali.

3 November 2013

On 03.30 by anya-(aydwprdnya)   No comments

Zaman sekarang, kita membutuhkan banyak hal. Bukan rahasia.
Zaman sekarang, kita menginginkan hal yang mungkin sama banyaknya. Bukan rahasia.
Bukan rahasia pula bahwa seringkali keinginan dan kebutuhan menempati ruang yang merancukan. Kalau boleh diibaratkan, kebutuhan dan keinginan merupakan catatan kaki dalam sebuah bab yang letaknya saling membelakangi dalam selembar kertas  yang sama: dekat, nyaris tanpa batas. Masalahnya hanya tentang sisi mana yang ingin kita lihat terlebih dahulu, halaman mana yang ingin kita tilik terlebih dahulu.

Bicara perihal kebutuhan dan keinginan, penulis sangat ingin mempertegas bagaimana kedua hal tersebut bukan sekadar bahasan filosofis.

Pertanyaan dasar, seberapa sering kita menginginkan sesuatu tanpa membutuhkannya? Atau seberapa banyak kita membutuhkan sesuatu tanpa menginginkannya? Jika jawabannya sama sering, maka bisa jadi salah satu di antara kita telah salah memaknai keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan merupakan abstraksi dari desakan akan faktor yang esensial untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, ada hal yang tidak terwujud saat kebutuhan itu tidak terpenuhi. Sementara keinginan merupakan aktualisasi dari id dalam rangka mencapai kepuasan.  Catatlah bahwa definisi tersebut adalah murni racikan penulis.

Ahh, prolog nan panjang untuk mengawali cerita yang dalam hal ini, salah satu contoh kasus bagaimana keinginan dapat menelan kebutuhan.. Bulat-bulat.

Ahh..lagi-lagi ahh, sebenarnya ini hanya ekspresi penulis yang sedang ada dalam masa paceklik, sekuensial dengan terbelinya gadget baru yang entah dibutuhkan, entah diinginkan. Masa kini, bila kita melihat kanan dan kiri, bukan untuk menyeberang jalan, melainkan untuk menyaksikan bagaimana jutaan barang elektronik mulai mengambil alih sisi kemanusiaan kita. Pintarnya, cara-cara persuasi klasik justru yang paling ampuh meningkatkan angka penjualannya. Penulis juga bertindak sebagai korban disini. Sekitar satu dua tahun yang lalu, penulis berpikir, "Ahh, belum waktunya punya yang begituan. Smart phone, tablet pintar, apapun yang penting tag linenya semacam bisa mengangkat harkat dan harga diri. Belum perlu". Nah, yang terakhir itu yang balik membumerangi pikiran penulis sejak pertengahan tahun ini. Apa yang penulis katakan sebagai belum perlu ternyata sesungguhnya adalah BELUM INGIN. Ketika keinginan itu muncul, maka semerta-merta kebutuhan itu juga ada--karakteristik hedonisme. Jadi yang mana mengawali yang mana? Yang pasti penulis belakangan ini sangat menikmati kepraktisan menulis dari gadget baru yang menyadarkan betapa konsumtifnya bertahan hidup hari-hari ini. Ahhh....

*    *   *

Kebutuhan dan keinginan.
Memang kedua hal tersebut seringkali dijadikan materi dasar ilmu ekonomi, sama lumrahnya dengan dijadikannya dua kata benda tersebut diatas dalam pidato-pidato naratif, mulai dari konteks hari jadi instansi tertentu hingga hajatan macam pemilihan kepala daerah. Namun, penulis sendiri lebih ingin menarik kesederhanaan makna "butuh" dan "ingin" keluar dari ranah naifnya. Dua kata yang trakhir bermanifes kata sifat, memiliki andil dalam representasi aliran hidup masa ini, yang sering juga mereka sebut zaman hedon (sempat disebutkan sebelumnya), terpotong dari kata asalnya hedonik, hedonia. Mungkin hedon terdengar lebih sederhana, dan lebih populer di kalangan pergaulan penulis, dan sering diplesetkan menjadi zaman hedan. Yah, hedon, hedan, akhirnya edan.

30 April 2013

On 09.07 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Judul kali ini mungkin sedikit serius ya..
Mungkin akibat pengaruh analisa data yang kejar target minggu ini (maklum ya, kan koas..)
Tapi memang benar dan tidak bisa dipungkiri lagi, kisah tentang subyek penderita atau orang teraniaya memang paling sering diangkat dan ajaibnya seringkali menuai lebih banyak perhatian. Termasuk juga kisah tentang koas-koas ini. Jadi apa kita (koas) adalah subyek penderita? Atau pihak yang teraniaya?

Berbeda dengan judul yang sok serius, isi tulisan ini tidak seserius itu.
Berawal dari hasil observasi mendalam saat sore tadi sempat jalan-jalan ke Gramedia (sempet-sempetnya ya...kan koas..), baru sadar ternyata banyak hal yang terlewatkan. Macam timeline yang lama tak terbaca, isi Gramedia sepertinya baru semua. Diantara banyak buku-buku dan penulis-penulis baru, ternyata banyak yang mengangkat tentang suka duka hidup sebagai koas. Bukan hal yang baru sekali sih, tema ini mungkin memang menarik diangkat lewat novel 200an halaman. Khas sekali, bahasanya ringan, lucu beraroma konyol, membacanya memberi kemampuan ekstra untuk menertawakan diri sendiri seperti menertawakan orang lain. Beberapa menampilkan orisinalitas, mungkin juga karena bisa dibilang pelopor penulisan bertema koas-koas-an, atau bisa juga karena sisi dan sudut pandang yang diangkat. Sebut saja Cado-cado atau Koas Racun. 

Namun seiring dengan keberhasilan buku-buku pelopor, bermunculanlah buku-buku setema dan serupa. Setema, karena jelas yang diangkat ya pada dasarnya ya cerita koas itu tadi. Serupa, karena sebagian besar muncul dengan cover yang rada-rada mirip: figur berjas putih (ceritanya koas) yang dikelilingi benda-benda medis, dilatari oleh lingkungan yang biasanya komikal. Membludaknya buku-buku setema-serupa tersebut memunculkan pertanyaan penelitian, apakah cerita koas begitu banyaknya hingga seakan tiada habisnya? Mari mengumpulkan data dengan populasi seluruh koas di seluruh FK di Indonesia.

Bukannya ingin memunculkan nada skeptis mengenai buku bertema koas. Namun, tren kemunculannya tidak berbanding dengan variasi dan kualitas humor yang ingin ditampilkan. Cerita tentang koas, ketika diejawantahkan lewat tulisan bergenre humor, terbukti mengeksitasi dan memunculkan hiburan segar baik bagi para koas maupun golongan non-koas. Manfaat lainnya adalah (1)menciptakan ilusi keindahan duniawi melalui cerita yang di-twist disana-sini dan (2)membuka mata dunia lewat beberapa fakta yang diselipkan "Jadi begini lho prosesnya sebelum jadi dokter". Setelah tren terlihat dan mulai melewati nilai median, yang ada adalah humoritas hambar, terutama diduga akibat faktor kurangnya kreativitas dalam pembawaan cerita.


Sebagai koas, tentu akan sangat senang bila kisahnya diangkat (atau terangkat lewat tulisan koas lain) dan dapat menghibur khalayak banyak. Namun di titik ini, sepertinya cerita-cerita tersebut lebih banyak direpetisi demi royalti dan mulai mengesampingkan tujuan awal itu sendiri. Alhasil, post-keliling Gramedia sore tadi, ada tanya yang mudah namun menyakitkan untuk dijawab. Apa kita (koas) adalah subyek penderita? Atau pihak yang teraniaya? Belakangan kisah koas menjadi sumber empuk eksploitasi, terus dikembangkan, walaupun melewati batas esensi.

Saya agak kecewa.

[Saya tidak membeli satu pun buku sore tadi. Bukan karena kekecewaan saya di atas, melainkan lebih karena saya ada dalam mode hemat. Jadi kalau mode hemat kerjanya jalan ke toko buku buat baca di tempat? Yah, maklumlah...kan koas...]

4 April 2013

On 02.16 by anya-(aydwprdnya)   1 comment
Saya ini bukan salah satu manusia penggemar pedas. Agak aneh menurut kawan-kawan saya dari seberang lautan. Menurut mereka, orang Indonesia sudah semestinya adalah penikmat makanan pedas. "Bukan tipikal orang Bali", begitu kata tetangga saya. Yah, apalagi Bali yang identik dengan basa genep, sambel matah, sampai bumbu super pedas lainnya. Kata ibu saya lain lagi, beliau bilang, kalau tidak suka pedas tidak akan bisa masak enak. Saya tidak bisa menemukan logika dalam kalimat tersebut sampai sekarang. Jawabannya mungkin kembali lagi pada pernyataan tak terbantahkan di awal, Indonesia, juga Bali, identik dengan makanan pedas.

Tren masa kini yang membuat orang-orang macam saya semakin terpojok adalah makanan ringan dengan tagline pedas bergradasi yang membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi superkuereenn. Sebuat saja Maichi, kripik pedas asal Bandung yang punya 10 level kepedasan. Atau mie rawit yang pembelinya boleh memilih jumlah rawit yang diinginkan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya 20 cabe, 30, sampai 60 (Gila...bukan apa-apa, cabe mahal cuy..!). Di dekat kawasan tinggal saya juga ada rumah makan SS (Serba Sambal). Ahh, banyak lagi contoh lainnya. Salah satu teman saya pernah berkata jumawa, "Kemaren aku habis sebungkus Maichi level 9. Sendiri pula." Saya tak seharusnya ambil pusing, hanya saja ia berkata demikian sesaat setelah saya mengeluh, "Busheett, hampir mati ni makan Maichi level 3.." Percayalah, itu pertama dan terakhir kalinya saya mencoba sang kripik pedas asal Bandung.

Apa sih nikmatnya pedas? Katanya pedas bisa membangkitkan selera makan, meningkatkan produksi air liur. Saya setuju dengan yang kedua tapi menyangkal yang pertama. Ada juga yang bilang ini bukan hanya tentang sensasi pedas, melainkan juga aroma cabai yang gimana gitu. Saya abstain untuk pendapat tersebut. Namun saya sempat mencoba menambah paprika dalam green salad saya. Notabene paprika adalah saudara sekandungnya cabai (mungkin satu ibu beda ayah). Nyatanya...saya juga tidak suka paprika.

Bagaimanapun orang memaksa saya "belajar" makan makanan pedas, setelah hidup 22 tahun saya masih belum bisa menikmatinya. Pedas itu bukan budaya, tapi selera. Kalau budaya, saat lahir di dalamnya ia akan mengaliri lumen pembuluh nadi saya. Tapi karena ia adalah esensi dari selera, maka saya merasa berhak memilih untuk tidak suka. Tapi tentu saja, di bawah tekanan, saya terus berusaha mencoba.

Belakangan ini muncul produk mie instant yang menonjolkan ikon cabe ijo (dan warnanya, agak mengherankan, memang hijau). Siang tadi saya coba, aromanya memang sangat cabai. Saya makan, habis. Tidak sepedas warna hijaunya memang, saya kurang suka aromanya, tapi tetap heran karena secara ganjil saya merasa macho.

Ahh... Indonesia akhir-akhir ini lebih mementingkan selera sepertinya.