5 November 2013
Hari ini harusnya aku menikmati hari libur tenang nan menyenangkan. Harusnya hari ini aku ada di salah satu pusat perbelanjaan, walau hanya sekadar meletakkan sidik jariku di barang yang terpampang di etalase. Harusnya aku sibuk mengucapkan selamat tahun baru bagi kawan-kawan muslim yang tengah merayakan. Atau harusnya aku berseliweran mondar-mandir di depan bioskop XXI, berlagak akan menonton sekuel Thor terbaru, walaupun kenyataannya tak cukup uang di dompetku. Menyesal itu bukan perasaan yang sehat, menurutku. Kalaupun hari ini aku malah menghabiskan waktu di antara box bayi ini pun aku tidak menyesalinya.
Ya, tidak salah memang, NICU yang aku maksud di atas adalah NICU tempat bayi-bayi merah berjuang untuk bertahan hidup. Neonatal Intensive Care Unit. Angka-angka yang mengikuti di belakangnya adalah penanda tanggal hari ini, hari kesekianku jaga libur di bagian Pediatri, fiuhh..
Eh, aku sudah janji untuk tidak mengeluh.
Oke, tentang NICU hari ini, bukan pertama kalinya aku bertugas jaga di NICU, bedanya kali ini tanggungjawabku hanya empat bayi mungil untuk diobservasi. Empat bayi, satu hari, observasi tiap 3 jam sekali dengan bonus sekantung popok yang penuh dan tangisan tanggung, aku rasa tidak begitu buruk. Ada yang jauh lebih buruk lagi, proyeksi epidemiologi yang cukup mencengangkan aku temukan di ruangan NICU nan sempit ini. Dari 4 bayi, seluruhnya adalah bayi prematur, seluruhnya merupakan kelahiran yang tidak diinginkan dari kehamilan yang juga tidak diinginkan. Tiga dari empat ibu empunya bayi masih duduk di bangku SMA. Satu sisanya siswi SMP, yang tidak menyadari kehamilannya, yang kemudian tanpa sengaja "melahirkan" di kamar mandi. Dari 4 bayi, dua diantaranya memiliki berat badan lahir rendah, dua lainnya dengan berat badan lahir sangat rendah.
Aku tercengang.
Beberapa saat yang lalu, seorang ibu bayi datang untuk memenuhi panggilan dokter bertugas demi memberikan KIE terkait kondisi bayinya. Sangat mengiris hati, menyebut anak perempuan yang datang itu sebagai ibu. Bagaimana tidak, perawakannya sangat kecil, wajahnya kekanakan, penampilannya layak dibawa jalan ke mall alih alih menunggui bayinya yang belum stabil. Tanpa alasan yang jelas hatiku terluka.
Sesuatu pasti salah di sini. Entah apa, entah siapa.
Aku enggan berpikir lebih dalam hari ini. Ada tugas status minicex yang harus aku selesaikan. Ada slide presentasi yang juga menunggu untuk aku rampungkan.
Hanya saja,
bila semakin banyak anak yang lahir tanpa ibu yang memiliki kapabilitas untuk menjadi ibu, bila semakin banyak anak yang besar dengan pencerapan dasar bahwa mereka tidak diinginkan, bila nantinya bayi-bayi itu tumbuh dengan hanya sedikit ruang tersisa untuk bermimpi indah....
kepada siapa kita harus menguntaikan mimpi-mimpi hari nanti?
Duh, NICU hari ini, miris sekali.
3 November 2013
Zaman sekarang, kita membutuhkan banyak hal. Bukan rahasia.
Zaman sekarang, kita menginginkan hal yang mungkin sama banyaknya. Bukan rahasia.
Bukan rahasia pula bahwa seringkali keinginan dan kebutuhan menempati ruang yang merancukan. Kalau boleh diibaratkan, kebutuhan dan keinginan merupakan catatan kaki dalam sebuah bab yang letaknya saling membelakangi dalam selembar kertas yang sama: dekat, nyaris tanpa batas. Masalahnya hanya tentang sisi mana yang ingin kita lihat terlebih dahulu, halaman mana yang ingin kita tilik terlebih dahulu.
Bicara perihal kebutuhan dan keinginan, penulis sangat ingin mempertegas bagaimana kedua hal tersebut bukan sekadar bahasan filosofis.
Pertanyaan dasar, seberapa sering kita menginginkan sesuatu tanpa membutuhkannya? Atau seberapa banyak kita membutuhkan sesuatu tanpa menginginkannya? Jika jawabannya sama sering, maka bisa jadi salah satu di antara kita telah salah memaknai keinginan dan kebutuhan. Kebutuhan merupakan abstraksi dari desakan akan faktor yang esensial untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, ada hal yang tidak terwujud saat kebutuhan itu tidak terpenuhi. Sementara keinginan merupakan aktualisasi dari id dalam rangka mencapai kepuasan. Catatlah bahwa definisi tersebut adalah murni racikan penulis.
Ahh, prolog nan panjang untuk mengawali cerita yang dalam hal ini, salah satu contoh kasus bagaimana keinginan dapat menelan kebutuhan.. Bulat-bulat.
Ahh..lagi-lagi ahh, sebenarnya ini hanya ekspresi penulis yang sedang ada dalam masa paceklik, sekuensial dengan terbelinya gadget baru yang entah dibutuhkan, entah diinginkan. Masa kini, bila kita melihat kanan dan kiri, bukan untuk menyeberang jalan, melainkan untuk menyaksikan bagaimana jutaan barang elektronik mulai mengambil alih sisi kemanusiaan kita. Pintarnya, cara-cara persuasi klasik justru yang paling ampuh meningkatkan angka penjualannya. Penulis juga bertindak sebagai korban disini. Sekitar satu dua tahun yang lalu, penulis berpikir, "Ahh, belum waktunya punya yang begituan. Smart phone, tablet pintar, apapun yang penting tag linenya semacam bisa mengangkat harkat dan harga diri. Belum perlu". Nah, yang terakhir itu yang balik membumerangi pikiran penulis sejak pertengahan tahun ini. Apa yang penulis katakan sebagai belum perlu ternyata sesungguhnya adalah BELUM INGIN. Ketika keinginan itu muncul, maka semerta-merta kebutuhan itu juga ada--karakteristik hedonisme. Jadi yang mana mengawali yang mana? Yang pasti penulis belakangan ini sangat menikmati kepraktisan menulis dari gadget baru yang menyadarkan betapa konsumtifnya bertahan hidup hari-hari ini. Ahhh....
* * *
Kebutuhan dan keinginan.
Memang kedua hal tersebut seringkali dijadikan materi dasar ilmu ekonomi, sama lumrahnya dengan dijadikannya dua kata benda tersebut diatas dalam pidato-pidato naratif, mulai dari konteks hari jadi instansi tertentu hingga hajatan macam pemilihan kepala daerah. Namun, penulis sendiri lebih ingin menarik kesederhanaan makna "butuh" dan "ingin" keluar dari ranah naifnya. Dua kata yang trakhir bermanifes kata sifat, memiliki andil dalam representasi aliran hidup masa ini, yang sering juga mereka sebut zaman hedon (sempat disebutkan sebelumnya), terpotong dari kata asalnya hedonik, hedonia. Mungkin hedon terdengar lebih sederhana, dan lebih populer di kalangan pergaulan penulis, dan sering diplesetkan menjadi zaman hedan. Yah, hedon, hedan, akhirnya edan.
30 April 2013
4 April 2013
Tren masa kini yang membuat orang-orang macam saya semakin terpojok adalah makanan ringan dengan tagline pedas bergradasi yang membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi superkuereenn. Sebuat saja Maichi, kripik pedas asal Bandung yang punya 10 level kepedasan. Atau mie rawit yang pembelinya boleh memilih jumlah rawit yang diinginkan. Tidak tanggung-tanggung, pilihannya 20 cabe, 30, sampai 60 (Gila...bukan apa-apa, cabe mahal cuy..!). Di dekat kawasan tinggal saya juga ada rumah makan SS (Serba Sambal). Ahh, banyak lagi contoh lainnya. Salah satu teman saya pernah berkata jumawa, "Kemaren aku habis sebungkus Maichi level 9. Sendiri pula." Saya tak seharusnya ambil pusing, hanya saja ia berkata demikian sesaat setelah saya mengeluh, "Busheett, hampir mati ni makan Maichi level 3.." Percayalah, itu pertama dan terakhir kalinya saya mencoba sang kripik pedas asal Bandung.
Apa sih nikmatnya pedas? Katanya pedas bisa membangkitkan selera makan, meningkatkan produksi air liur. Saya setuju dengan yang kedua tapi menyangkal yang pertama. Ada juga yang bilang ini bukan hanya tentang sensasi pedas, melainkan juga aroma cabai yang gimana gitu. Saya abstain untuk pendapat tersebut. Namun saya sempat mencoba menambah paprika dalam green salad saya. Notabene paprika adalah saudara sekandungnya cabai (mungkin satu ibu beda ayah). Nyatanya...saya juga tidak suka paprika.
Bagaimanapun orang memaksa saya "belajar" makan makanan pedas, setelah hidup 22 tahun saya masih belum bisa menikmatinya. Pedas itu bukan budaya, tapi selera. Kalau budaya, saat lahir di dalamnya ia akan mengaliri lumen pembuluh nadi saya. Tapi karena ia adalah esensi dari selera, maka saya merasa berhak memilih untuk tidak suka. Tapi tentu saja, di bawah tekanan, saya terus berusaha mencoba.
Belakangan ini muncul produk mie instant yang menonjolkan ikon cabe ijo (dan warnanya, agak mengherankan, memang hijau). Siang tadi saya coba, aromanya memang sangat cabai. Saya makan, habis. Tidak sepedas warna hijaunya memang, saya kurang suka aromanya, tapi tetap heran karena secara ganjil saya merasa macho.
Ahh... Indonesia akhir-akhir ini lebih mementingkan selera sepertinya.
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup