Defect, anomali...and perspective

21 September 2011

On 09.03 by anya-(aydwprdnya) in , ,    No comments
Nenek saya adalah manusia hasil produksi tahun lama. Tahun-tahun dimana orang yang pernah mengecap masa itu, dan masih hidup hingga saat ini, pastinya memiliki kartu tanda penduduk bertanda lahir 31 Desember dan berlaku seumur hidup. Nenek saya adalah seorang janda yang menghabiskan kesehariannya di rumah saja, melakukan apa pun untuk membunuh waktu, menyapa siapapun untuk mengusir sepi. Tanpa dramatisasi, nenek saya sungguh tak muda lagi. Seperti banyak nenek lain yang memecahkan gelas berkali-kali akibat tangan yang bergetar, tersandung pada tiap kesempatan karena pandangan yang tak lagi binar, dan jarang mengingat banyak hal ketika impuls otak hampir lelah berpendar. 


Tulisan ini, saya dedikasikan untuk beliau.


Galungan yang lalu, saya dan mbah.


Sejak bangku sekolah menengah pertama saya sudah tinggal di kamar sewaan. Melatih kemandirian, kata bapak saya. Sejak itu pula saya mulai jarang berada di rumah, kecuali liburan sekolah. Apalagi saat ini, saat saya menyandang status sebagai mahasiswa, hal kecil terlihat besar, urusan sepele jadi berbelit-belit. Otomatis, intensitas kepulangan saya ke rumah orang tua menjadi berkurang. Termasuk waktu-waktu yang saya habiskan dengan bercengkerama dengan nenek saya. Sebelumnya, saya ingin sekali mengambarkan betapa dekatnya hubungan kami, saya dan nenek. Ketika ibu hanya mempunyai sedikit waktu untuk saya saat usia kanak-kanak, nenek adalah ibu kedua. Jangan salah paham bahwa hubungan tersebut substituen, beliau berdua menjalani peran komplementari bagi saya. Saya ingat nenek saya selalu berusaha menjalin rambut saya, walaupun hasilnya tidak serapi karya ibu. Nenek juga sering memakaikan sepatu, mengikatkan tali sepatu, menyiapkan bekal makanan, mengantar ke sekolah, membelikan gulali, menunggui saat jam pulang sekolah, dan lainnya, dan lainnya. Kenangan-kenangan kecil yang belakangan ini sering terlupakan, tertumpuk memori pendek tentang kehidupan pribadi saya. :')

Nenek saya tipe wanita pekerja keras yang tidak banyak meminta. Beliau tipe yang senang bercerita, sekaligus senang mendoakan. Beliau menghabiskan masa muda pada zaman penjajahan Belanda. Tak heran, dari sekian banyak kisah repetitif yang biasa diceritakan, rumitnya hidup nomaden dengan sumber sandang, pangan, dan papan terbatas cukup mendominasi. Karenanya, dengan pahitnya kehidupan masa lalu, nenek tidak ingin penerus-penerusnya mengalami kesulitan hidup yang sama. Mbah, begitu kami memanggilnya, secara sederhana selalu mengingatkan kami, anak dan cucunya, tentang penghargaan bagi kehidupan.

Suatu hari di awal bulan April 2011, saya baru saja tiba dari sebuah perjalanan singkat ke Jakarta. Seperti biasa, saya membawakan beberapa kue dan lauk kesukaan mbah. Terlontarlah permintaan kecil dari mbah, beliau ingin melihat pesawat. Melihat pesawat, sekali lagi hanya melihat saja. Saya terhenyak, bagaimana bisa keinginan semacam itu bisa membuat seseorang bahagia. Saya malu mengakui bagaimana pedih hati saya, saya berkali-kali duduk di kabin pesawat, bosan dan lupa apa tujuan saya. Sementara, keluarga dekat yang sangat saya sayangi, begitu gembira hanya dengan mengucapkan ide melihat pesawat udara. Saya galau, tidak tenang setiap teringat permintaan itu. Bahkan selama berbulan-bulan setelahnya.

Seminggu yang lalu, 17 September 2011, lagi-lagi saya baru tiba dari jakarta dengan penerbangan sore. Kebetulan juga, hari itu saya membawa kabar gembira dari kompetisi yang baru saja saya ikuti. Lebih gembira lagi, karena ternyata hari itu, kami sekeluarga bisa memenuhi keinginan mbah. Menyambut saya, dan memandangi pesawat yang silih berganti terbang dan mendarat. Sulit juga bagi saya mengambarkan perasaan senang ketika disambut oleh orang-orang tercinta di gerbang kedatangan. Yang membuat saya heran adalah perasaan senang tersebut menjadi sempurna melihat senyuman ibu, bapak, kakak, adik, pacar, dan raut riang mbah saya ketika pesawat udara melintas di atas kepala. 

Betapa hal kecil yang bisa kita berikan kepada orang di sekitar kita dapat berarti berlipat-lipat kali lebih besar bagi mereka. Khusus pada cerita ini, setelah hari penjemputan tersebut, mbah sudah tidak lagi memandangi langit berlama-lama karena kerinduan melihat pesawat udara dalam ukuran nyata. Hal itu kecil, bagi mereka besar, dan dikembalikan lagi kepada kita dalam wujud kelegaan, kepuasan, kebahagiaan yang jutaan kali lebih besar. semoga saya masih sempat memberikan banyak hal kecil yang selama ini saya lewatkan bagi mereka yang saya sayangi.

Selagi sempat, saya harap saya bisa melakukan lebih banyak lagi hal kecil untuk mbah.
Love you, Grandma :) 

0 comments:

Posting Komentar