17 Agustus 2011
On 06.56 by anya-(aydwprdnya) in Refleksi No comments
Hari ini libur, hari ini tanggal merah, hari ini seharian ngendon di rumah. Itu sajakah? Hey, Bung! Hari ini ada hal yang lebih besar, yang seharusnya lebih kau ingat. Hari ini, 66 tahun yang lalu, bangsamu menegaskan kebebasannya. Kau tidak ada disana saat itu, bukan? Bila jawabmu iya, mungkin hari ini kau bisa ada disini...
Seingatku, kali terakhir aku mengikuti upacara bendera itu tiga tahun yang lalu, sebelum kelulusan SMA. Setelah itu tidak lagi. Upacara bendera peringatan hari kemerdekaan, aku tidak begitu mengingatnya lagi. Hal-hal yang aku lakukan untuk memperingati kemerdekaan, sebatas partisipan lomba makan kerupuk dan tepok bantal. Agak aneh rasanya mengingat hal-hal semacam itu di saat petang tanggung seperti saat ini. Hanya saja, aku merasa ada banyak yang janggal setelah aku menyaksikan (lewat televisi) upacara detik-detik proklamasi pagi tadi. Aku merasa salah, lebih aneh lagi, aku merasa malu.
Sebenarnya pikiranku lebih sering diluapi tanda tanya. Hampir semua stasiun televisi menayangkan upacara dengan latar istana negara. Aku merinding melihat rangkaian acara tersebut, sama merindingnya ketika aku membayangkan betapa jejak nasionalisme 66 tahun ini sesungguhnya bertumbal ironi. Pejabat berpakaian bersih-baru berbaris rapi, serapi posisi tidur orang-orang yang bahkan tidak punya dipan. Petugas upacara, anak-anak SMA yang dilatih keras sejak sebulan yang lalu, menyamai kerasnya hidup anak jalanan yang menghabiskan ratusan hari tanpa rumah yang layak. Komandan upacara harap-harap cemas, apakah sang merah putih (duplikat) akan terbentang dengan posisi yang benar? Di tempat lain "komandan" mengerutkan dahi, apakah ada cukup lauk di meja makan nanti malam? Ahh, apakah aku yang terlalu skeptis?
Langkah tegap pengibar bendera, apakah sepadan dengan ketegapan hati mereka yang luntang-lantung di negeri orang? Senyum meriah hari ini apakah sama menyenangkannya bila ada hak asasi yang dilanggar? Aku berniat berkeliling untuk menonton kemeriahan perayaan, apa mungkin ada orang-orang yang mencari apa yang mereka sebut keadilan? Ahh, ternyata benar, akulah yang skeptis. Aku saja, atau kita semua begitu.
Akulah warga negara yang menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengeluh, menggerutu, misuh-misuh, dan menyalahkan pemerintah. Aku juga warga negara yang terlalu banyak bertanya mengapa, sementara justru melupakan pertanyaan yang paling penting, apa yang sudah aku lakukan untuk negara? #jempol besar untuk kalimat dewa JFK.
Kita marah pada orang yang menyentuh spion mobil kita di jalan, tapi apa kita pernah marah bila ada orang yang tidak memakai helm saat berkendara? Kita total pada ketentuan pribadi, tapi lalai terhadap aturan bersama. Kita menghujat para koruptor pada setiap kesempatan, tapi apa kita selalu bersikap jujur setiap saat? Bahkan hingga usia ini aku masih sering nilep sisa uang untuk membeli gula di warung, apa itu juga korupsi? Apa berarti aku juga koruptor? Pikiranku menelurkan pemikiran baru (untukku), selama ini kita selalu berorientasi pada kemenangan pribadi dan mengabaikan keberhasilan kolektif karena nama kita tidak selalu berada di urutan teratas. Sepertinya kita tidak terlalu siap sebagai warga sebuah negara.
Sejak pagi aku bersahabat dengan televisi kamar kostku. Siarannya? Jangan tanya, mereka jual derita. Orang miskin-orang sakit-orang menderita. Kriminal-penyakit-krisis. Kita, penonton=penikmat derita orang lain. Bahkan ketika orang lain itu adalah saudara sebangsa kita sendiri. Kita beramal untuk membantu dua anak yang menderita penyakit langka, sementara di pelosok negeri ini aku yakin ada lebih dari dua anak yang sedang menderita penyakit. Mendekati hari raya Lebaran, panti asuhan ramai mendapat santunan. Setelah lewat Lebaran? Mereka akan tetap menjadi anak yang tinggal di panti asuhan.
Kenapa perlu tanggal khusus untuk saling bergenggam tangan?
Kenapa ada hari istimewa untuk menjalin persahabatan?
Kenapa diadakan momentum khusus untuk mengaku saudara?
Kenapa hari semacam itu selalu singkat?
Kenapa harmoni menjadi barang langka, di tengah sebuah bangsa yang merdeka?
Kembali ke awal, di tengah segala ironi, apa yang sudah aku lakukan untuk negara? Belum ada.
Aku rasa aku pantas malu. Sepertinya rasa malu adalah nutrisi yang paling dibutuhkan warga bangsa ini. Untuk saya sendiri, skeptisitas ini akan saya modifikasi menjadi suplemen, menyeimbangkan dan melengkapi kerja nutrisi. Suplemen ini mulai membangkitkan semangat saya untuk melakukan sesuatu hari ini. Semoga nutrisi dan suplemen ini dapat diperoleh secara gratis dari atmosfer yang menaungi kepulauan Indonesia.
*Aku lahir di sini, mati pun ingin disini. Aku hanya ingin tempat yang sama ini, berubah menjadi tempat yang lebih baik. Selamat ulang tahun Indonesia, (kata seorang teman di Facebook) lekaslah sembuh. :)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar