9 Agustus 2010
On 05.56 by anya-(aydwprdnya) in Karya No comments

Kebahagiaan sebagai gema idealisme manusia merupakan wujud pedoman kehidupan yang tertuang lewat ajaran-ajaran agama. Bila umat Hindu menyebutnya sebagai Moksartham Jagadhita ya ca Iti Dharma, kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Siapapun tak akan memungkiri bahwa kebahagian adalah tujuan hidup kita bersama sebagai manusia, namun hal yang sederhana ini berkembang menjadi kontroversial seiring dengan munculnya teori kebahagiaan yang variatif. Perbedaan yang menjemukan hingga para peneliti pun membawa arah kebahagiaan keluar dari sekadar kepuasan sosial dan material hingga menemukan titik terang pada satu hal: penuaan.
Manusia, lahir kemudian tumbuh dan berkembang lalu mati. Sebuah siklus, analogi dengan siklus sel dimana sel-sel induk mengalami pembelahan mitotik dan meiosis, sebuah proses pertumbuhan skala kecil yang berakhir dengan nekrosis dan apoptosis. Melihat itu memunculkan pemikiran yang mengusik libido keingintahuan, membicarakan proses penuaan satu organisme bernama manusia tidak akan terlepas dari proses penuaan sel-sel penyusun yang tak terhitung jumlahnya. Sebuah pekerjaan baru bagi insan yang selalu ingin tahu.
Banyak masyarakat awam yang enggan membuka pikiran mereka, dan bertahan dengan pengertian sederhana bahwa penuaan identik dengan kematian, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa penuaan nantinya akan berujung pada kematian. Mitra INTI Foundation, sebuah organisasi yang bergerak di bidang riset sosial memiliki definisi tersendiri untuk penuaan yaitu sebuah proses yang dinamis dan kompleks yang dihasilkan oleh perubahan-perubahan sel, fisiologis, dan psikologis.
Selama ini telah dilakukan berbagai survei internasional tentang angka harapan hidup. Hasil dari survey menyebutkan bahwa Jepang selalu tercatat menyimpan orang berusia tua lebih banyak dari negara lain. Data terakhir Kementerian Kesehatan Jepang menunjukkan, warga yang mendekati umur 100 tahun mencapai 25.600 orang. Jumlah ini bertambah sebesar 2.000 orang dari tahun sebelumnya. Angka rata-rata harapan hidup di Jepang memang berada dalam posisi tertinggi di dunia yaitu 81,6 tahun.
Sementara di Indonesia, data Badan Pusat Statistik 2005 menunjukkan, angka harapan hidup tertinggi ada di Yogyakarta yaitu 73 tahun, dan terendah di Nusa Tenggara Barat yaitu 60,9 tahun. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Yogyakarta, Dr. Bondan Agus Suryanto, faktor kesehatan mental sangat berpengaruh. Warga Yogya terbukti memiliki tingkat stres yang relatif rendah diakibatkan karena pola hidup yang damai dan toleransi antar warga.
Pada dasarnya penuaan merupakan suatu proses alamiah, sama alaminya dengan ketertarikan manusia terhadap lawan jenis. Pengakuan terhadap paten tahap-tahap perkembangan psikologis manusia oleh Sigmund Freud tentu bukanlah suatu kebetulan belaka. Dari premis-premis yang selama ini dikumpulkan para ahli diperoleh kesimpulan yang serupa. Walaupun dalam perjalanan alamiahnya tidak dapat dicegah kehadiran variabel patologis yang ikut mempengaruhi proses penuaan tersebut.
Salah satu teori yang dapat diterima masyarakat mengenai penuaan dibeberkan dalam konsep anti-aging medicine. Esensi yang dapat diambil dari penguaraian anti-aging medicine ialah bahwa proses penuaan dapat dicegah dan dihambat dengan beberapa upaya ilmiah. Memperbaiki dan mengembalikan semua fungsi organ tubuh yang menurun merupakan upaya yang tepat dalam mencegah proses penuaan. Dengan demikian kualitas hidup juga dapat dipertahankan walaupun telah memasuki usia kronologis yang tergolong tua. Dalam buku “Anti-Aging Medicine Memperlambat Penuaan Meningkatkan Kualitas Hidup” yang disusun oleh Wimpie Pangkahila, anti-aging medicine secara luas memuat tanda penuaan, penyebab, proses serta upaya pencegahan secara klinis tanpa mengabaikan unsur estetika.
Masyarakat terpuaskan, masyarakat menerima. Namun ternyata di belahan bumi entah dimana masih ada orang yang masih menyimpan keingintahuan. Raymond Kurzweil adalah salah satunya. Kurzweil adalah seorang teknolog, inventor, sekaligus futurolog, sering disebut sebagai “Bapak Kebahagiaan” bagi ribuan penganut hidup abadi dari berbagai penjuru dunia. Ia percaya bahwa keinginan hidup abadi itu hanya berjarak 25 tahun lagi. Pada 2030, Kurzweil yakin, dengan bantuan teknologi, manusia bisa menolak kematian. Sekarang kembali pada pandangan pribadi, siapa yang berminat dan percaya bahwa manusia mampu hidup selamanya?
Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/Hingga hilang pedih peri/Dan aku akan lebih tidak perduli/Aku mau hidup seribu tahun lagi (Maret 1943). Ya, mungkin Chairil Anwar adalah salah satu orang yang pernah bercita-cita hidup seribu tahun lamanya. Di era globalisasi pemikiran yang tertuang dalam penggalan sajak konotatif semacam itu rasanya tidak relevan. Namun beberapa individu dan komunitas dengan kreativitas dan tingkat intelektual yang tinggi malah memodifikasi pemikiran yang tidak masuk akal menjadi seakan mudah dicapai. Hingga kini dikenal istilah singularitas dan trans-humanisme.
The Singularity is Near, judul buku kedua Kurzweil, yang lagi-lagi memuat pemikirannya mengenai konsep kehidupan abadi. Kurzweil memerlukan beberapa buku untuk menerangkan seluruh konsepnya itu. Tapi, pada intinya, apa yang ia sebut sebagai singularity adalah suatu kondisi ketika kecepatan teknologi tak terbendung lagi, sehingga manusia mampu mengatasi berbagai masalah badaniah dan lingkungan. Saat teknologi menyatu dengan manusia, maka terciptalah suatu kondisi yang memungkinkan manusia menjelma menjadi makhluk lebih sempurna. Para penyokong teori ini menyebutnya proses "trans-humanisme".
Kurzweil memiliki Kurzweil Technologies Inc, sebuah lembaga riset bergengsi, yang menampung 18 tenaga ahli untuk menganalisis berbagai pencapaian teknologi pada 52 cabang disiplin ilmu. Dari hasil pantauan dengan sarana yang dimilikinya tersebut Kurzweil yakin akan ramalan masa depannya mengenai kehidupan abadi. Menurut Kurzweil, lompatan bioteknologi dan kedokteran bakal mampu menghentikan proses penuaan pada manusia dan itu akan terjadi pada 2030. Menurut Kurzweil, ada tiga jembatan proses yang harus dilalui untuk menuju keabadian. Pertama, berterima kasihlah pada nanoteknologi yang mampu menciptakan nanorobot yang ukurannya bisa sekecil sel darah merah, yang dapat memperbaiki berbagai kerusakan tubuh.
Jembatan kedua adalah revolusi bioteknologi yang membawa manusia mengatasi keterbatasan tubuh biologisnya. Berbagai penyakit bisa diatasi, proses penuaan dapat dihambat, dan fungsi tubuh jadi lebih optimal. Namun, sebelum kedua jembatan tadi tercipta, sambil menunggu, manusia harus melewati jembatan pendahuluan. Yakni bertahan hidup dengan teknologi primitif: diet dan olahraga.
Bahkan, pada 2050, Kurzweil percaya, akhirnya teknologi mengizinkan otak manusia untuk meninggalkan tubuh biologis untuk mengungsi ke tubuh robot. Di situlah kemudian tercipta sesuatu yang disebut sebagai keabadian. Pendek kata, Kurzweil menganggap manusia bakal mampu meraih keabadian dalam genggaman, menghindari sang malaikat maut. Melihat keseriusan semacam itu tentu sedikit banyak juga meningkatkan anomali masyarakat dunia. Terbukti dari berbagai macam organisasi trans-humanisme dunia yang terbentuk. Menurut catatan Wikipedia.com, setidaknya ada 13 organisasi trans-humanisme di dunia dengan anggota mencapai ribuan orang. Yang terbesar dan paling aktif, antara lain, adalah Extropy Institute dan The World Trans-humanist Association (WTA).
The World Trans-humanist Association (WTA) mengklaim telah memiliki 3.000 anggota dari seluruh dunia sejak didirikan pada 1998. Mereka rajin mengadakan pertemuan rutin, berdiskusi segala hal tentang trans-humanisme, dan mengaku sebagai lembaga terbesar dan paling representatif pada masa ini. Tidak tanggung-tanggung anggota kelompok ini berasal dari kalangan intelektual, mulai ahli biologi, fisikawan, molekuler, hingga filsuf.
Keberadaan organisasi semacam itu tentu nantinya akan berimplikasi terhaddap kehidupan masyarakat dunia. Walaupun belum bisa diprediksi, tidak tertutup kemungkinan akan membentuk masyarakat yang menjurus ke arah atheis. Tujuan awal untuk menjegal penuaan telah mengalami deviasi. Bahkan tidak ada yang mempertanyakan jaminan yang mampu diberikan teknologi yang bahkan telah mulai dikoar-koarkan sejak tahun 1966 ini. Para pemikir tersebut telah terbuai dalam pemikiran mereka sendiri. Bisa dikatakan ini merupakan suatu kekeliruan besar dalam sejarah manusia.
Bila masih boleh kita berandai-andai, mengenai apa yang bisa kita bayangkan bila kita masih hidup saat usia kita 80 tahun. Duduk di sofa hangat di ruang televisi sambil bermain-main dengan cucu mungkin bisa menjadi pilihan jawaban yang terdengar ideal. Lalu bagaimana bila pertanyaan yang sama dengan menambah umur, misalnya apa yang akan kita lakukan bila nanti hidup mencapai umur 109 tahun. Secara psikologis, manusia cenderung merasa jenuh bila tujuannya telah tercapai, sementara masa pencapaian tujuan hidup manusia adalah pada masa produktif yaitu sekitar 30-70 tahun.
Melihat trans-humanisme dari segi yang menyadari kekeliruan, pembuktian atas adanya kehidupan abadi bisa jadi merupakan eksplisitas dari egoisme yang berlebihan. Fanatisme terhadap kemajuan teknologi dikorelasikan dengan pemenuhan rasa ingin tahu, wajar, selama tidak menyalahi kodrat manusia. Tapi untuk masalah yang mulai ingin menandingi Yang Maha Kuasa, apalagi mengkonveksi pemikiran tersebut pada khayalak banyak tentu sulit untuk dibenarkan
Ada baiknya menilik masalah dari sudut pemikiran kita sebagai masyarakat Indonesia. Telah jelas disebutkan dalam dasar negara kita, Pancasila, dalam sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Diperkuat dengan pasal pertama dalam dasar konstitusi yaitu UUD 1945 bahwa negara Indonesia merupakan negara yang berdiri kokoh dengan mengusung kepercayaan terhadap Tuhan dan mengakui keberadaan agama. Dalam agama yang kita anut masing-masing tentu diajarkan bagaimana seharusnya kita bersikap menerima yang secara klise bisa kita sebut takdir. Termasuk di dalamnya menekan egoisme untuk hal-hal yang berbau duniawi. Dalam hal ini keinginan kita mencegah penuaan kita golongkan dalam egoisme duniawi.
Manusia tetap boleh berusaha mencegah proses penuaan. Kalau boleh ditelaah lebih dalam ternyata usaha-usaha yang konservatif semacam mengatur pola makan dan pola hidup dengan baik adalah cara yang pada masa ini paling memungkinkan untuk dijalani. Jangan sampai dengan mengorbankan anugrah bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mendekati sempurna, dengan menyembah teknologi mengatasnamakan tujuan kemanusiaan untuk memenuhi keinginan pribadi. Dan terakhir, bayangkan saja bila ternyata manusia memang akan hidup abadi, rasanya bumi perlu memperluas lahan lagi entah ke planet atau galaksi lain. Mungkin benar kata seorang pengamat dan budayawan Indonesia, Mohamad Sobary, bahwa kita saat ini sedang memasuki peradaban yang dungu, peradaban yang memuja apa saja yang palsu. Mungkin juga perlu kita pikirkan bagaimana mengatasi kepalsuan itu sebelum mengatasi penuaan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Search
Popular Posts
-
Hari kemarin, ia memperkarakan tentang bahagia. Bahkan debu jalanan pun tidak menjawabnya. Apakah memang tak bisa? * * * Di ...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar