2 Mei 2016
Kebahagiaan, seharga sepuluh ribu rupiah.
Kata mereka hal-hal abstrak seperti rasa senang, bahagia, atau cinta tidak bisa dihargakan dengan mata uang yang berlaku di muka bumi. Banyak substansi hidup yang tidak lunas ditukar dengan nominal apapun, atau berapapun. Nyatanya malam ini aliran darah ke organ dalamku terbeli dengan transaksi sederhana bermodalkan sepuluh ribu saja. Tentu akan kubagi caranya.
Ingredient:
aku, uang sepuluh ribu, dan sedikit ekstrak kehadiranmu.
Special requirement:
langit malam Lapangan Puputan yang cerah, pasangan-pasangan kasmaran yang bertebaran di rerumputan (secukupnya).
Instruction:
1. Beli cairan sabun di penjual terdekat.
2. Berbahagialah.
* * *
Struktur nan teratur. Tiada gaduh dan teramat rapuh.
Bulat namun tak pepat. Seperti rasa yang muncul dikala tak tepat.
Keindahan yang janggal. Layaknya ribuan dalihku yang mengganjal.
Nyeriku bungkam, lelahmu diam.
Bagaimana pun harus ada sebuah eksekusi untuk mengakhiri hari.
Lucunya, diantara kisah yang seharusnya bersambung, kita memilih untuk bermain gelembung.
Tidak ada yang menciptakan gelembung pertama, kehormatan itu hanya milik dinamika udara. Aku dan kamu juga, sekadar mediator saja, membiarkan sisa senang dan hitungan waktu bersama terpaket dalam bulatan yang volumenya tak pernah terduga. Dalam gelembung kecil nan mungil, hingga yang besarnya menandingi ukuran kepala kita, semuanya memuat kebahagiaan dengan konsentrasi yang sama.
Aku banyak tertawa. Melihat paket-paket kebahagiaan membubung ke angkasa. Melihat sebagian lainnya kalah melawan rerumputan. Merasakan residunya memercikkan perih ke mata. Mengetahui bagaimana setiap tawa nantinya menyisakan jejak noda di pakaian kita atau aroma sabun cuci piring yang menempel di rambut kita.
Pada waktu angin bergerak riuh, gelembung berduplikasi sesuka hati. Melatari pasangan yang duduk bercengkerama (sepertinya) penuh cinta. Apa kebahagiaanku juga mereka rasa? Apa cinta mereka juga serupa yang aku punya?
Langit kian indah. Lenganku kian lelah. Cairan sabun seharga sepuluh ribuku hampir habis. Anehnya, ketika gelembung terakhir lenyap di bahu seorang pengamen yang sedang rehat bernyanyi, rasa bahagia ini tidak serta merta kikis.
Pada akhirnya tulisan ini gagal menjadi tutorial kebahagiaan. Malam itu, aku melupakan arum manis.
Search
Popular Posts
-
Akhir-akhir ini aku sering sulit tidur (bukan cuma akhir-akhir ini saja sih..). Mengisi jam-jam sulit tidur, jadilah yang aku lakukan adalah...
-
“Seseorang dapat menyempatkan diri mengunjungi Meksiko Utara dan bersedia menunggu 20 tahun demi melihat sekuntum Queen Victoria Agave me...
-
Raksha Bandhan (Bengali: রাখী বন্ধন Hindi: रक्षा बन्धन) is also called Rakhi Purnima (রাখীপূর্ণিমা) or simply Rakhi or "Rakhri"...
-
Aku tidak seindah itu hingga mematrikan deretan milestones demi menandai setiap checkpoint dalam hidupku. Mungkin bila aku melakukannya, sua...
-
Hari kemarin musik saya mati, saya sedih karena saya pikir saya tidak akan bisa menikmatinya lagi. Tapi ia meninggalkan sebuah kotak, da...
Recent Posts
Categories
- [EARGASM]
- 30Hari Bercerita
- Ahmad Wahib
- Aktivitas
- Bahasa
- Barcelona
- Birokrasi
- BYEE
- Cerita Dari Negeri Lain
- Co-ass
- Easy-Aci Exploring the World
- Event
- Ex-Berliner
- Family
- Fiksi Tapi Bukan
- Friendship
- Germany
- Golden October
- Inspirasi
- Japan
- Jerman
- Journey to the West
- Karya
- KKM
- Koas
- Kontemplasi
- Menulis Random
- Movie
- Puisi
- Quality Time
- Refleksi
- Romansa
- Serba-serbi
- Song of the Day
- Sweet Escape
- T World
- Tragedy
- Travel
- Trip
- Tulisan
- Urip Iku Urup
0 comments:
Posting Komentar